Jumat, 07 Mei 2010
Ketika Ibuku Berpulang
Waktu itu umurku masih 13 tahun, tepatnya masih duduk di bangku Sekolah menengah pertama kelas 2. Kurang lebih enam bulan ibuku sakit Diabetes dan dirawat di rumah sakit. Saat itu, pagi hari tepatnya tanggal 10 Agustus 2002 aku menelepon ibu untuk mengabari bahwa aku ingin mengikuti lomba puisi tanggal 11 Agustus 2002 di sekolah dan tidak bisa menjenguk ke rumah sakit. Ibuku dengan bahagia mengijinkan aku untuk ikut lomba puisi tersebut, tetapi ketika sore hari entah kenapa aku merasa rindu sekali pada ibuku dan semua badan terasa sakit dan gelisah. Tidak lama kemudian suara telepon rumah bendering dan aku segera mengangkat telepon tersebut. Ternyata yang menelepon adalah bapa. Dengan suara terburu-buru bapa bilang aku harus segera ke rumah sakit. Akupun panik dan memaksa kakakku untuk segera ke rumah sakit. Sampai di rumah sakit, aku melihat semua saudaraku berpakaian hitam, disitu aku merasa ada sesuatu yang tidak baik dengan ibuku. Ternyata ibu sudah dipindahkan ke ruang ISOLASI dan sudah tidak sadar. Bapa menyuruh aku dan kakakku meminta maaf pada ibu yang terkujur lemah tidak sadar. Disamping ibuku, aku meminta maaf atas semua kesalahanku selama 13 tahun aku dirawat.
Selama 13 tahun aku dirawat ibuku, aku seorang anak hanya bisa membuat kesalahan, manja, makan minta disuapin, dan bahkan pernah sampai membuat ibuku menangis hanya karena berantem kecil dengan kakakku. Semua orang mengenal aku sebagai anak yang manja. Tepat pada tanggal 11 Agustus 2002 tepat jam 24.00, saat melihat ibu terkapar lemah dan tidak bernyawa, aku hanya bisa menyesal dan menangis di depan jenazah ibuku meminta maaf karena selama ibu hidup aku belum bisa menjadi anak yang baik untuk dia. Aku merasa ini semua balasan dari Allah karena aku belum bisa menjadi anak yang Sholehah. Tiap hari aku merenung dan berpikir sekarang aku adalah anak Piatu anak yang sudah tidak mempunyai ibu di masa remajanya dan di saat-saat sangat membutuhkan seorang ibu. Aku selalu ingat pesan ibu seminggu sebelum ibu meninggal. Ibu berpesan agar aku bisa menjaga rumah, dan tidak sering berantem dengan kakakku (yang sebenarnya wajar untuk kakak dan adik), dan bisa menjaga bapa dan Mas Ayub (kakakku) karena aku hanya satu-satunya perempuan di rumah sekarang, dan tidak pacaran dulu sampai aku lulus SMA.
Awalnya aku merasa ini semua berat, hidup tanpa seorang ibu di masa-masa remaja. Tapi aku berjanji pada ibuku untuk bisa menjadi penggantinya walaupun pada saat itu aku tidak bisa melakukan apa-apa selain belajar dan bermain. Selama berbulan-bulan, aku lupa kalau sekarang posisi aku tidak seperti dulu. Aku masih sering teringat jika aku pulang sekolah dan les yang aku cari pertama kali adalah “IBU”, setiap ibu pulang kerja membawa oleh-oleh, sebelum ibu berangkat kerja ibu masak makanan kesukaan aku yaitu “Sayur Bayam dengan lauk Ati Ampela ayam” tapi sekarang setiap pulang sekolah dan les, rumah sepi karena bapa dan Mas Ayub belum pulang kerja dan sekolah, tidak ada yang masak sarapan “Sayur Bayam” lagi. Saat kelulusan aku mendapat peringkat pertama di kelas, tapi aku tidak bisa merasakan ciuman ibu di tengah lapangan basket seperti waktu kelas 1 aku mendapat peringkat kedua.
Saat aku duduk di bangku 1 SMA, aku merasa semakin dewasa akupun belajar untuk masak sendiri walupun sealakadarnya. Setiap Minggu, aku harus membereskan rumah yang selama seminggu tidak dibersihkan karena setiap pulang sekolah aku harus belajar dan mengerjakan PR. Setiap aku rindu, aku hanya bisa melihat dan mencium fotonya dan terkadang sampai mengeluarkan air mata. Terkadang aku iri kepada teman-temanku yang selalu bercerita tentang ibunya apalagi pada saat hari ibu. Mereka bisa menyiapkan kado terindah untuk ibunya, tetapi aku hanya bisa mengunjungi makam ibuku dan memberinya kado “taburan bunga dan sebuah doa dari anak yang selalu menyayanginya sampai kapanpun”. Tetapi terkadang aku sangat menyayangkan pada teman-temanku yang bercerita kepadaku mereka sering berantem atau membentak ibunya apabila ibunya menyuruhnya melakukan sesuatu. Mereka belum merasakan menjadi anak yang hidup tanpa seorang ibu. Mereka belum merasakan bagaimana pentingnya peran seorang ibu di kehidupan seorang anak. Aku hanya tidak ingin mereka menyesal seperti aku yang belum bisa membalas budi kepada ibuku.
Aku jadi bisa mengambil kesimpulan, kalau di balik semua cobaan yang Allah kasih ke aku itu ada hikmahnya. Hikmah yang sangat bisa aku petik yaitu menjadikan aku anak yang luar biasa, dewasa dalam berpikir, dan lebih menghargai orang tua yang sudah banting tulang membesarkan aku dan menyekolahkan aku sampai perguruan tinggi. Aku percaya Allah tidak akan memberi cobaan di luar kemampuan hambanya. Jadi, jalani hidupmu dengan penuh senyuman dan ketabahan walaupun cobaan itu menghadangmu. Aku yakin ikatan batin seorang anak dan ibu sangat kuat dan tidak tergantikan.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar