Senin, 15 Desember 2014

Untitled

Ibu, dulu aku pernah bertanya sendiri dalam gelap...
Apa beda sebutir air bening di ujung daun dengan sebutir debu di dinding yang kusam?
Dulu, tiada yang bisa memberi jawab. Tidak ada. Hari ini aku menemukan sendiri jawabannya. 
Apa bedanya? Tidak ada. Sama sekali tidak ada bedanya...
Keduanya sama-sama keniscayaan kekeuasaannya. Kedua sama-sama mensucikan, meski hakikat dan fisiknya jelas berbeda.

Ibu, dulu aku pernah sendiri bertanya dalam sesak...
Apa bedanya tahu dan tidak tahu?
Apa bedanya kenal da tidak kenal?
Apa bedanya ada dan tiada?
Apa bedanya sekarang dan kemarin, satu jam lalu, satu menit lalu, satu detik lalu?
Dulu tiada ynag bisa memberi jawab. Hari ini aku juga tetap tidak tahu begitu banyak potongan pertanyaan.
Tapi tak mengapa. Setidaknya tetap bisa melihat, mendengar, dan terus berpikir.
Ada banyak yang tidak lagi. Tepatnya membutakan diri. Menulikan kepala, atau membebalkan hati.

Begitulah kehidupan ini, kau tidak pernah berhak bertanya atas keputusan Tuhan. Kita mengenal kehidupan demokratis,
kebebasan memilih, kebebasan keinginan, diajarkan langsung oleh-Nya melalui kitab suci, tapi ironisnya justru tidak ada kata demokratis, tidak ada kesempatan memilih dengan takdir milik-Nya. Kau tidak berhak protes. Tidak sama sekali!!!

Kau ingin marah? Marahlah.
Kau ingin berteriak? Berteriaklah.
Tapi itu semua percuma. Tidak ada pengadilan banding, tidak ada petisi, abolisi, grasi, dan sebagainya.
Keputusan Tuhan tidak bisa diganggu-gugat! 100% pasti adil! 100% pasti baik bagi kita.

0 komentar: